29 Januari, 2013 0 komentar

Dialah Noy

Di suatu sore yang mendung, sepulang gue dari sekolah gue pulang kerumah dengan keadaan terburu buru karena langit sudah terlihat mendung. Saat gue sedang berlari di dekat sebuah pohon, tanpa sengaja gue melihat sebuah kotak kardus di dekat pohon tersebut. Awalnya gue curiga dengan isi kardus tersebut dan ingin melihatnya, tetapi karena langit semakin terlihat mendung, dan rumah gue masih jauh gue pun bergegas kembali berlari lebih kencang menuju kerumah.
Sesampainya gue di depan pagar rumah, gue semakin penasaran dengan isi kardus tersebut. Gue pun putar haluan dan kembali mendatangi kardus misterius tersebut.

Ketika gue sudah sampai di hadapan kardus itu, hujan pun datang ramai-ramai dan semakin mem-bully. Jadilah gue berteduh di bawah pohon yang tidak seberapa besar. Pohon singkong. Alhasil, baru 5 menit hujan gue bukannya aman malah basah kuyup “Bagus, gue nggak perlu mandi” pikir gue.

Dan gue tidak lupa untuk membuka kardus misterius yang mebuat gue putar haluan dari rumah menuju kembali ke tempat itu. Perlahan gue buka, gue menduga duga bahwa ini adalah Bom perang dunia pertama yang belum sempat meledak beberapa puluh tahun lalu. Saat gue buka, gue lihat tumpukan kain menutupi sebuah benda, dan gue juga melihat ada beberapa botol susu mainan-mainan kecil. Dari situ gue berfikir “betapa beruntungnya gue nemu mainan-mainan ini, ini bisa gue bawa pulang untuk main dirumah”. 

Lalu gue buka tumpukan kain yang menutupi sebuah benda itu. Ter.. nya.. ta.. ada seekor bayi. Bayi Lumba-lumba. Sebenarnya dia tidak layak disebut sebagai bayi, dia sudah terlihat cukup besar sebesar ikan buntal yang makan rending lebaran. Lagipula kardus yang membungkusnya bukanlah seperti kardus kardus kecil mie instan melainkan kardus lemari es.

Dengan unyunya lumba-lumba itu menangis. Gue bingung mengapa dia menangis terus menerus setelah melihat gue. Padahal gue tidak se-menyeramkan kelihatannya. Hingga pada saat hujan reda lumba-lumba itu berhenti menangis. “HAH?! KENAPA?! DIA PAWANG HUJAN!!!” pikir gue.
Gue sempat kaget, namun karena lumba-lumba itu terlihat menggemaskan gue membawanya pulang. Gue memasukan lumba-lumba itu ke dalam tas ransel gue.

Sesampainya di rumah, gue langsung menaruh tas di kamar dan gue langsung mandi. Ketika gue sedang mandi, adik perempuan gue yang paling bungsu *adik gue cuman satu* berteriak dari kamar gue, dia bilang “kaaak makasihhh yaaa bonekaaanyaaa, kakak baik deeeh”
“hah? Boneka apaaa? Kakak nggak punya boneka” gue bingung setengah heran.
“ini lhoo boneka lumba-lumbanya lucu. Makasih yaaa”

Gubrak. Gue pun terpeleset kaget dan menggelincir di kamar mandi.

Ketika gue keluar, melihat adik gue sedang main dengan lumba-lumba itu dan dia bilang “kak bonekanya bisa ngomong, pasti mahal belinya?
“Yaudah sini kembaliin bonekanya, kalo mau beli sendiri.”  Gue pun merebutnya dengan paksa dari adik gue. Namun adik gue tidak mau kalah dan menarik lumba-lumba itu. Tiba-tiba terdengar kata-kata “OOOOY SAKIIIIT”  hebat.  Ternyata lumba-lumba ini benar-benar bisa ngomong.
Gue pun mendapat teman bermain baru di rumah, seekor lumba-lumba yang unik. Gue menamai lumba-lumba itu dengan nama Noy. Seiring berjalannya waktu kami sering menghabiskan waktu bersama, termasuk saling bercerita.

Kami saling bercerita prihal masalah-masalah pribadi atau yang lainnya, gue juga menanyakan masalah terkait mengapa dia bisa berada di dalam sebuah kardus lemari es. Dan Noy bercerita bahwa waktu itu ketika dia sedang asik bermain petak umpet bersama teman-temannya, dia mendapat kesempatan bersembunyi, lalu dia mencari tempat paling aman agar tidak diketahui temannya. Dia menemukan sebuah kardus besar, dia pikir dia tak akan pernah ditemukan oleh teman-temannya jika dia bersembunyi di dalam situ. Bersembunyilah Noy di dalam kardus itu, dan Noy pun ketiduran. Dan benarlah apa yang dia pikirkan bahwa dia tak pernah ditemukan oleh teman-temannya sampai sekarang dan Noy pun juga tak tau arah jalan pulang dan tentunya tidak kelilipan butiran debu. Dia lupa. Sedih. Dan terkait dengan kain-kain, botol susu dan mainan-mainan itu, Noy bilang dia memang sengaja membawanya setiap kali bermain petak umpet agar dia bisa tiduran santai, nggak kehausan dan nggak bosan ketika sedang bersembunyi. Parah. Niat.

Semakin dekatnya pertemanan kami berdua, gue menemukan terdapat kejanggalan pada diri seekor Noy ini.. Dia tak pernah mandi. Dia bau, lebih bau daripada ruangan tertutup ber-AC  yang penuh dengan kaos kaki anak sekolah. 

Gue bertanya kepada Noy “Noy lo sebagai lumba-lumba kok gue nggak penah liat lo mandi?!” dengan sedikit mengernyitkan dahi.
“gue…  gue.. umm.. gue alergi air” jawab Noy dengan malu-malu kucing.. eh, malu-malu lumba-lumba.
“APAAA?! A-LER-GI-A-IR?! Mau dikemanain harga diri lo sebagai lumba-lumba kalo alergi sama air?! Hah?!” Tanya gue begitu terkejutnya. Noy hanya diam menundukan siripnya. “emangnya kenapa lo alergi sama air? Nggak suka air asin?” lanjut gue bertanya.
“bukan dhil, ceritanya begini…
Ketika matahari sudah menampakan diri dan jarum jam menunjukan pukul setengah sebelas pagi, *pagi apa siang itu?* ayah gue menemukan gue yang masih tergeletak tak berdosa di kandang, dan tentu saja gue belum mandi. Ayah gue berteriak “Noy buruaaan mandi udah siang gini, cepetan nyebur ke kolaaam”

“iya paaa nanti yaaa” sahut gue dengan mata masih sedikit terpejam. Namun tak berapa lama setelah sahut gue tersebut gue disiram dinginnya air kolam saat gue nyaris kembali terlelap. Nah karena gue kaget gue pun terjatuh dari kasur dan badan gue lecet-lecet. Ketika itu gue masih kecil.” Penjelasan Noy.

Dari situ gue bisa paham, bahwa Noy alergi air bukan karena dia takut sama air melainkan karena dia trauma jika terkena air, dia akan terjatuh dan badannya lecet-lecet. Ketika itu dia masih kecil sehingga kejadian itu membekas hingga dia dewasa dan dalam setiap kali dia merasakan air iya akan terjatuh dan tak bisa bangkit lagi, bukan butiran debu. Mengenaskan. Sadis.

Pernah pada suatu hari ketika Noy pulang main futsal, dia kebingungan mau pulang karena terjebak hujan. Dia beteduh di sebuah toko. Dan ini fotonya..

Mengenaskan. Andai saja ada dokter hewan yang bersedia menyembuhkan penyakit Noy.
07 Desember, 2012 0 komentar

Dilema Ujian Bahasa Indonesia

Kamis pagi, 6 desember 2012, ujian semester mata pelajaran bahasa Indonesia berlangsung. Soalnya mudah.. kalo cuman disuruh baca. Ngisi jawabannya juga gampang kalo ngasal. Soal bahasa indonesia kali itu lebih mirip koran pagi yang sering dibaca bapak bapak tiap pagi di beranda rumah dan mirip juga dengan majalah anak anak tanpa gambar. Tebal. Membosankan. Nggak! Ini nggak sekedar membosankan, ini lebih membosankan daripada nungguin pacar yang lagi di salon. Kalo soalnya ada gambar gambar kartunnya sih mungkin nggak jadi ngebosenin, semacam gambar Spongebob atau gambar Jimmy Neutron gitu, kan keren. Tapi, karena tuntutan nilai di raport, jadi gue berusaha keras untuk konsentrasi mikir. Nggak! Waktu itu gue bukan lagi mikirin mba mba kasir sebuah minimarket kok.
Sepuluh menit pertama membaca soal gue berhasil konsentrasi baca soal tanpa hambatan, gue berhasil mengerjakan lima soal. Sepuluh menit berikutnya tambah jadi sepuluh soal. Dan pada menit menit selanjutnya dan soal yang kesebelas gue mulai kehilangan konentrasi. Iya, gue emang tipe orang yang nggak bisa berlama lama konsentrasi. Bukan, gue kehilangan konsentrasi bukan karena mba mba kasir sebuah minimarket yang selalu senyum tiap kali gue cuekin.


Pada soal kesebelas gue mulai main mainin pensil. Gue melakukan ritual ritual kecil dengan pensil yang gue pakai untuk ujian, gue juga main mobil mobilan dengan pensil gue. Dan karena gue suka balap, gue coba buat lintasan mini di atas meja terus gue mainin pensil, penghapus dan peruncing seolah olah itu mobil balap. Beneran. Ini serius. Gue emang begini, nggak tau kenapa, mungkin hukum alam.

Gue lihat jam dinding, dan nggak kerasa 30 menit berlalu karena mainan mainan dadakan gue itu. Gue baru ngerjain sepuluh soal, itu juga belum tentu bener.

Lanjut gue ngerjain soal. Gue kerjain dengan seksama. Satu.. dua.. tiga soal gue baca dan berhasil gue lewati, gue lewati karena memang gue nggak tau jawabannya. Yah. Soal keempat mulai lagi, gue mulai pusing. Gue mencoba bereksperimen dengan permainan permainan lain yang lebih mengasyikan dari sekedar mobil balap. Tiba tiba dalam keheningan otak gue, terdengar suara helikopter lewat di atas sekolah. Bukan, gue bukan mau lari keluar kelas terus melambai lambaikan tangan minta tolong lalu teriak “Tolooooong paaaaaak saya nggak kuaaat! BANTUAAAAAN! BANTUAAAAAAAAN!” bukan. Gue jadi keinget masa kecil gue ketika gue masih senang main pesawat pesawatan lipat kertas. Gue lirik soal ujian. Tadinya soal ujian mau gue korbanin lipat lipat buat main pesawat pesawatan. Tapi untung gue sadar, soal ujian itu masih bisa digunakan untuk buat mainan mainan lain nantinya, seperti.. buat layang - layang.

Dan gue menemukan kertas bekas coret - coretan menghitung pada pelajaran Matematika beberapa hari yang lalu di dalam laci. Beruntunglah gue, kalo nggak mungkin soal ujian benar benar jadi kobannya.

Sukses buat pesawat pesawatan, gue merasa seperti kembali berjiwa bocah. Tapi nggak apa apa, keren.

Kembali gue lihat jam, kali ini waktu bermain gue agak lebih cepat, 15 menitan. Jadi sekitar 45 menit berlalu dengan serunya. Peserta ujian lain dengan tenang dan waspada takut ketahuan mencontek pekerjaan teman lainnya, gue malah asik bermain dengan dunia gue. Keren.

Dari 50 soal yang di ujikan, gue baru mengisi 10 soal dalam waktu kurang lebih 50 menit. Gue lihat pekerjaan teman gue yang duduk di belakang. Buuuh dia sudah ngerjain banyak, sekitar 40 soal. Hampir penuh. Gue heran, dari soal bahasa Indonesia yang mirip koran gitu dia bisa ngerjain secepat itu? Ntahlah, mungkin dia alien dari planet yang banyak penduduk indonesianya.

Jadi, gue berusaha konsetrasi kembali, gue kembali memusatkan pikiran gue. Gue bukan memusatkan kepada mba mba kasir, tapi gue memusatkan pikiran gue kepada angsa tetangga yang tadi pagi ngikutin gue berjalan sewaktu gue berangkat ke sekolah. Nggak tau kenapa, mungkin angsa - angsa itu mengira gue induk mereka karena leher kami sama panjang. Iya, gue sering di ikutin sama angsa angsa tetangga gue, ada sekitar 6 ekor. Gue sering betemu mereka (baca: angsa) patroli depan rumah gue. Muter muter keliling ke rumah gue, jalan lagi ke rumah tetangga lain. Ya, berkat patroli mereka kawasan rumah gue aman dari ancaman pencuri. Sebab, mereka akan menggonggong dan kadang mengaum di malam hari setiap kali melihat orang asing. *bohong*

Oh iya, ini kenapa jadi bahas angsa yang menggonggong? Oke. Maafin gue. Sampe mana tadi..

Karena merasa tertinggal jauh mengerjakan soal, gue naik motor. Nggak nggak, gue kembali membaca soal. Gue pahami soal demi soal, gue jawab soal demi soal dan salah satu peserta ujian di kelas gue ada yang beranjak dari tempat duduknya. Dia sudah selesai, teman teman gue yang lain juga ikut ikutan ngumpul dan satu persatu kelar dari kelas. Sedangkan gue.. bergelut dengan angsa tetangga.

Satu persatu peserta ujian mulai keluar dari ruangan, hingga tampak sepi. Pak Samroni yang saat itu memakai peci putih yang sedang mengawas ruang kelas gue pun bilang “waktu tinggal sepuluh menit lagi”. Sip. Gue berusaha tidak panik, sampai akhirnya peserta ujian yang tersisa hanya tinggal gue seorang.Pak Samroni bertanya kepada gue

“diiiil udah selesai beloooom?”
 
“bentar lagi pak duaaa lagiiii” jawab gue panjang.

“dua apa?” Pak Samroni kembali bertanya.

“dua halamaaaan.”

Kemudian gue menyesal, kalo tau begini kenapa gue nggak bawa blender ke sekolah, jadi kan lembar soalnya bias gue juice.

*teeeeeeeeeeet* terdengar bunyi bel yang menandakan masa berlaku status gue habis. *bohong lagi* Untung segera bunyi bel, kalo nggak mungkin gue sudah berubah buas terus gigit gigitin lembar soal.

Soal gue kumpul. Gue keluar kelas dengan tampang biasa aja. Seperti pasangan LDR yang gengsi, sebenernya kangen tapi sama sama bilang “biasa aja kok”.

~

Sepulangnya gue dirumah, siang, panas, gue buka buka twitter gue. Gue lihat sejauh timeline memandang pada ngegalauin nilai yang keluar. Macem macem yang gue lihat, seperti..

“duh nilainya yaa mengecewakan sekali”

“aaah nilainya bikin galau”

“nggak tega ngeliat nilai”

Ada juga.. “BAKAAAAAR PENGAWASNYAAAAA”

Bahkan.. “aku galau ngeliat nilai kecil tapi nggak lebih galau kalo ngeliat kamu deket deket dengan yang lain." sempet.

Gue juga pengin lihat nilai gue, jadi gue iseng iseng lihat di web site sekolah gue. Gue buka. Mata pelajaran pertama yang gue lihat, Bahasa Indonesia. Ternyata sudah keluar. Gue lihat nilai gue ternyata besar.. 56. Iya, Lima Puluh Enam. Keren.

Gue terdiam. Memang malam sebelum nya gue nggak belajar, gue berfikir  ‘halah pelajaran Bahasa Indonesia mudah kok, paling paling yang ditanya “ide pokok paragraf diatas adalah..” atau “gagasan utama dalam wacana diatas adalah..” hah mudah kok, nggak usah belajar deh malem ini.’ Dan ternyata soalnya nggak semudah yang gue pikirkan. Terus sudah tau semalamnya gue nggak belajar, di sekolah gue main main juga saat ujian.

Jadi, seperti yang dibilang teman gue, Primavera.. peliharalah angsa menggonggong yang banyak di rumah anda maka rumah anda akan aman dari pencuri Segala sesuatu yang gak disertai usaha yang maksimal emang gak pernah berhasil.” 

Yak, jadi sesuai dengan apa yang gue kerjakan, gue mengerjakan soal nggak serius, gue nggak belajar dan ya nilai yang gue dapat seadanya. Sesuai dengan apa gue kerjakan.

Dan.. Jangan meremehkan segala sesuatu yang menurut kita mudah, karena suatu saat hal yang mudah itu bisa menjadi begitu sulit.
03 November, 2012 0 komentar

Penggalan Novel Hidup Berawal dari Mimpi

Kau Puisi

Aku kali pertama mengenalmu saat pelajaran Fisika, di kelas 1 SMA. Pagi itu Pak Muhari sedang menerangkan Hukum I Newton, tentang Gaya dan Dinamika. Kelas begitu suram dan membosankan, kapur tulis berdecit menjilat papan. Sekali-dua Pak Muhari berhenti sejenak, membalikkan badannya lalu menatap kami yang mulai kehilangan konsentrasi.

"Catat!' katanya pendek. Agak sinis. Nadanya tegas, "Ini penting!" lanjutnya. Kami saling lirik, sejujurnya kami bosan mencatat, tapi sekolah tak selalu menyediakan pilihan lain.

Kelas jadi hening. Kami kembali tenggelam dalam buku catatan masing-masing, sebagian mencatat rumus, sebagian lain menggambar atau menulis surat cinta.

Dan aku? Aku mencatat dengan saksama, tentu saja. Aku masih ingat rumus itu, sigma F = 0, Hukum I Newton, Inersia.

Tiba-tiba suara pintu diketuk. Pak Muhari berhenti mencatat, menuju pintu kelas, lalu membukanya.

"Maaf mengganggu, Pak Muhari," suara pak Heru, Wakil Kepala Sekolah.

"Eh, tidak ada apa-apa, Pak... Ada yang bisa saya bantu?" seperti biasa, di depan atasannya, semua orang selalu terlihat ramah.

"Ini, Pak, saya membawa siswa baru pindahan dari luar kota. Namanya Mona, dia akan bergabung dengan kelas ini. Saya mau memperkenalkan kepada anak-anak, sekalian Mona langsung ikut belajar." Pak Heru menjelaskan.

"Oh, ya, ya, silakan... Silakan..." sahut Pak Muhari sambil melebarkan pintu kelas.

Dari balik pintu, siswa baru itu, kamu, mulai menampakkan diri. Pak Heru masuk lebih dulu, "Ayo masuk, jangan malu-malu, mereka semua nanti jadi temanmu." Pak Heru meyakinkanmu.

Kau mulai melangkah masuk, mengikuti Pak Heru dari berlakang. Kau terlihat agak malu-malu.

"Anak-anak, ini Mona Kusuma Dewi, teman baru kalian. Mona ini pindahan dari sekolah di Bandung. Silakan nanti berkenalan. Mulai hari ini Mona bergabung dengan kelas kalian. Pesan Bapak, perlakukan Mona dengan baik, ya?"

"Iya, Pak... " Kami menjawab serentak. Anak-anak senyum-senyum.

"Hai Mona!" Gugun menggodamu.

Kau mengangguk pelan, lalu tersenyum, "Hai teman-teman!" katamu riang. Suaramu lembut, dan entah bagaimana membuat napasku tertahan.

Apa yang terjadi? Tanyaku dalam hati. Kau tak terlalu cantik, ada perempuan lain di kelas ini yang lebih cantik. Kau manis? Ya, aku akui. Tapi bagaimana caranya suaramu, gesturmu, matamu, hidungmu, langkahmu yang malu-malu, bisa menahan laju degup jantungku? Apa-apaan ini?!

Sejak saat itu, aku mulai memperhatikanmu. Kau duduk dua baris di sebelah kanan tempat dudukku. Sehari, dua hari, lima hari, sembilan hari, aku punya kebiasaan baru: Menatap punggungmu, memperhatikan rambut panjang yang diikat rapi dengan ikat-rambut warna-warni.

Lama-lama aku hapal, setiap Senin kau memakai ikat-rambut warna kuning, Selasa warna biru, Rabu warna hijau, Kamis warna merah, Jumat bunga0bunga, dan di hari Sabtu kau tak mengikat rambutmu.

Apa-apaan ini? Apa yang terjadi? Tanyaku dalam hati.

Hukum I Newton; Setiap benda tetap berada dalam keadaan diam atau bergerak dengan laju tetap sepanjang garis lurus, selama tidak ada gaya yang bekerja pada benda tersebut atau tidak ada gaya total pada benda tersebut.

Mungkinkah kau 'gaya total' bagi laju hidupku yang sebelumnya tenang dan stabil? Sebelum kau datang, hari-hariku biasa-biasa saja, irama jantungku berdetak sewajarnya, dan sekolah tetap membosankan seperti seharusnya. Tetapi setelah kau datang? Semuanya berubah! Tiba-tiba aku menahan napas saat berpapasan denganmu, waktu seolah melambat tetapi berbanding terbalik dengan detak jantungku yang berdegup cepat. Dan sekolah? Aneh sekali aku merasa sekolah bagai tempat paling menyenangkan sedunia. Apa-apaan ini? Apa yang terjadi? Mungkinkah aku sedang jatuh cinta?
***

Sejujurnya, aku bukan laki-laki yang mudah percaya pada cinta. Aku bukan laki-laki yang mudah jatuh cinta. Aku selalu menganggap mereka yang menghabiskan waktu di sekolah untuk urusan-urusan cinta adalah mereka yang membuang-buang waktu saja. Apa pentingnya ngecengin cewek-cewek yang jajan bakso di kantin? Apa pentingnya pulang sekolah berebut pasangan boncengan? Apa pentingnya berkelahi gara-gara perempuan? Aku bukan tipe laki-laki seperti itu.

Tapi, kini, mungkinkah aku sedang jatuh cinta?

Entahlah, aku tak mengerti. Tapi bagiku, 'jatuh cinta' harus bisa dibuktikan secara ilmiah. I believe in science, harus ada bukti empiris yang cikup kuat menunjukkan bahwa aku benar-benar jatuh cinta. Tapi, bagaimana caranya?

Aku mulai membaca buku-buku, aku membaca puluhan artikel di Internet; Bagaimanakah cara membukrikan bahwa seseorang sedang jatuh cinta?

Akhirnya, aku dapat juga cara mengujinya. Begini caranya: Aku akan menghitung jumlah detak jantung normalku setiap menitnya, lalu akan kubandingkan dengan jumlah detak jantungku setiap kali melihatmu. Aku akan menghitungnya selama seminggu dan menemukan rata-ratanya. Jika ada perbedaan antara detak jantung normalku dengan detak jantungku setiap kali bertemu denganmu, barangkali bisa disimpilkan bahwa aku memang sedang jatuh cinta padamu. Begitu kira-kira. Ini teori ciptaanku sendiri, mari kita uji!

Aku mulai melakukan riset sederhana itu. Aku menghitung jumlah detak jantungku setiap menitnya, aku mendapatkan rata-ratanya: 80 kali per menit. Itu detak jantung normalku. Baiklah, mari kita buktikan apakah aku sedang jatuh cinta padamu atau tidak...

Hari pertama, Selasa. Dari jauh aku melihatmu mengenakan ikat rambut warna biru. Oh, mengapa aku begitu tertarik pada ikat-rambutmu? Kau sedang mengobrol dengan beberapa teman perempuan. Aku menarik napas panjang dan mulai menghitung. Hasilnya: 88! Kesimpulan sementara: Ada peningkatan detak jantung saat aku melihatmu. Tapi, aku belum percaya bahwa aku sedang jatuh cinta.

Hari kedua, Rabu, kau belum datang ke kelas padahal sebentar lagi jam pelajaran dimulai. Bangkumu kosong, entah mengapa aku merasa kehilangan saat memperhatikan bangku milikmu yang kosong. Lima menit berlalu, bel masuk berbunyi. Dan kau belum juga datang. Oh, hari ini seharusnya aku sudah melihatmu dengan ikat-rambut warna hijau. Hei, sedang di manakah kamu?

Lima menit kemudian, pelajaran dimulai, Bahasa Indonesia. Aku mulai bertanya-tanya dan menerka-nerka: Apakah kau tidak masuk hari ini? Apa kau sedang sakit? Apakah sesuatu terjadi padamu? Aku mulai khawatir.

Aku menghitung detak jantungku: 84.

Tiba-tiba suara pintu kelas diketuk, kau datang tergesa-gesa dengan napas yang terengah. "Maaf, Bu, saya terlambat, tadi angkotnya mogok." katamu kepada Bu Mira, Guru Bahasa Indonesia. Oh, suaramu, mengapa aku jadi mengagumi suaramu? Apa yang istimewa dari suaramu?

Bu Mira melihat datar ke arahmu, lalu melirik arlojinya. Ternyata kau masih bisa dimaafkan dan dia mempersilakanmu masuk.

Kau berjalan tergesa menuju tempat dudukmu. Aku memperhatikanmu. Dan ternyata kau menangkap mataku sedang memperhatikanmu, kau tersenyum ke arahku. Sial! Degup jantungku mempercepat dirinya sendiri! Segera kuhitung: 96! Apa-apaan ini?! Degup jantungku tiba-tiba meningkat signifikan!

Hari ketiga aku memperhatikanmu, degup jantung tetap di atas normal, apakah aku benar-benar jatuh cinta padamu? Aku tak begitu yakin, apakah ini reaksi normal?

***

"Hai Reza, boleh pinjam catatan Fisika?" kau tiba-tiba menghampiri mejaku.

"Eh, tentu saja." Tiba-tiba aku jadi kikuk, jantungku berdegup kencang-tanganku berkeringat.

Aku mencari buku catatan Fisika-ku, lalu menyerahkannya kepadamu.

"Kamu katanya jago banget Fisika, ya?"

"Eh enggak juga. Cuma hobi aja. Banyak yang lebih jago kok!"

"Kata temen-temen, kamu juga Fisika. Ajarin donk!" kau tersenyum ke arahku, senyum yang manis. Lengkung bibir yang puitis.

"Boleh aja," jawabku, "tapi aku nggak jago, lho... Kalau mau, kita belajar sama-sama aja."

Kau mengangguk. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba mengaduk hatiku. Entah apa namanya, aku belum pernah mengenal perasaan itu sebelumnya.

"Ngomong-ngomong kenapa kamu pindah ke Jakarta?" aku berusah nyaman dengan percakapan kita.

"Papaku ditugaskan ke pusat, kami sekeluarga terpaksa ikut pindah. Kan udah aku ceritain waktu perkenalan di pelajaran Matematika?" jawabmu sambil membuka-buku catatan Fisika-ku, "Sebenernya kamu nggak pernah nyatet, ya? Ini isinya cuma latihan soal sama rumus-rumus."

Aku nyengir, "Hehe, iya..."

"Tapi kamu hebat. Aku jadi pinjem catatannya, kok!" katamu. Kau tersenyum sekali lagi, matamu menyipit.

Aku balas tersenyum. Napasku tertahan.

Kau ingat percakapan pertama kita? Barangkali kau sudah lupa. Tapi, aku mengingatnya dengan sempurna; apakah itu juga bagian dari 'jatuh cinta'? Ah!

***

Hari keempat, kelima, keenam, dan ketujuh sudah kulalui. Aku sudah mendapatkan hasilnya. Harus kuakui, ternyata memang ada peningkatan cukup signifikan dari detak jantungku setiap kali bertemu kamu. Aku mendapat rata-ratanya: 92. Itu belum termasuk keringat dingin dan gemetaran saat kamu mengajakku ngobrol, dan saat kamu meminjam penghapus di pelajaran Kesenian Sabtu lalu.

Ah, jika kau memang 'gaya total' yang mempengaruhi dinamika hidupku, menyebabkan percepatan degup jantungku setiap kali bertemu denganmu, benarkah aku sedang jatuh cinta padamu? Aku tak yakin. Aku bisa saja menolaknya. Tapi, mungkinkah aku menolak Hukum II Newton: Jika suatu gaya total bekerja pada benda, maka benda akan mengalami percepatan, dimana arah percepatan sama dengan arah gaya total yang bekerja padanya. Vektor gaya total sama dengan massa benda dikalikan dengan percepatan benda.

sigmaF = ma. Baiklah, yang jelas aku mulai curiga: Jangan-jangan kau memang 'gaya total' bagi hidupku!?

***

Baby, kau sosok yang punyai arti
kau puisi ketika datang sepi
saat nikmati indah sunset pantai Kuta
hadirmu jadi pelengkapku di tata surya
aku butuh dunia... dan kau
sebagai pendamping ketika kurasakan galau
Aku butuh cinta... dan kau
adalah tema saat kurasakan galau

Kau ada untuk melengkapi diriku
Kau tercipta untuk menutupi kekuranganku
L. O. V. E. yang membuatku bisa bertahan
Emosi, perasaan, jaminan rasa aman
Kau sanggup taklukkan hati dengan sebuah senyuman
Aku berdiri karena kau hadir di sisi

You are my everything, baby....
kau takkan pernah terganti....

Ah, ini aneh, entah kenapa aku mulai suka bernyanyi. Aku membayangkan kita berdua jadi tokoh utama dalam syair lagu-lagu cinta. Jika menonton video klipnya yang indah, aku membiarkan imajinasiku masuk ke dalam jalan ceritanya: You are my everything, Baby... kau takkan pernah terganti....

Aku senyum-senyum sendiri, merasa jasi orang gila yang bahagia. Sial, aku benci perasaan mellow macam begini, tapi aku tak bisa menolaknya! Sungguh, ini seperti terperangkap dalam soal Gaya dan Dinamika di ujian Fisika, Hukum III Newton: Apabila sebuah benda memberikan gaya kepada benda lain, maka benda kedua memberikan gaya kepada benda yang pertama. Kedua gaya tersebut memiliki besar yang sama tetapi berlawanan arah.

F AkeB = -F BkeA. Mona, ini teori Fisika yang paling romantis buatku. Baiklah, aku menyerah, aku memang benar-benar jatuh cinta padamu. Aku melihat kita berjodoh menurut Hukum III Newton. Aku berkulit hitam, kau putih. Aku pendiam, kau suka bicara. Aku suka Fisika dan Matematika, kau suka Sejarah dan Bahasa Indonesia. Aku pemalu, kau periang. Aku mudah marah, kau penyabar. Aku bertele-tele, kau tergesa-gesa. Kita saling berlawanan tapi sekaligus saling menggenapkan.

Setiap benda yang memberi gaya tertentu akan mendapatkan gaya yang berlawanan dari yang diberikan olehnya... Inilah yang membuat gerak jadi sempurna, membuat hidup dan cinta jadi indah: F aksi = -F reaksi

Barangkali aku bukan laki-laki terbaik di dunia, karena memang tak ada seorang pun yang sempurna. Aku hanya laki-laki biasa, yang menemukan sebagian dirinya dalam dirimu. Bagiku, kaulah yang akan menyempurnakan hidupku, Barangkali ini terdengar gombal buatmu. Biar saja! Aku memang masih kelas 1 SMA. Tapi soal cinta, aku merasa jauh lebih dewasa. Aku serius. Seperti pada Fisika, aku serius soal cinta!

Well, demi Hukum I, II, dan III Newton: Aku cinta kamu!

Kaulah belahan hatiku
yang terangi aku
dengan cintamu
Kau hangatkan jiwaku
dan selimuti aku
dengan kasihmu

***

Mona, barangkali aku bukan laki-laki romantis yang pandai menulis puisi untuk menyatakan perasaanku padamu. Tetapi, inilah keseluruhan rkonstruksi perasaanku padamu. Aku tahu perempuan memang lebih suka puisi dari pada teori. Sejujurnya, tentang puisi yang kau baca sejak tadi, itu syair lagu favoritku yang benar-benar menggambarkan perasaanku padamu.

Kucoba gapai apa yang kau ingin
Saat ku terjatuh sakit kau adalah aspirin
Coba menuntunmu agar ada di dalam track
Kau catatan terindah di dalam teks
Dan aku mengerti apa yang kau mau:
hargai dirimu, menjadi imammu
Karena kau diciptakan dari tulang rusukku
selain itu karena kau bagian dariku.

Mona, ternyata cinta tak sesederhana rumus-rumus Fisika dan hitung-hitungan Matematika... Cinta barangkali bagai senyawa kata dan makna yang bersembunyi di balik metafora puisi-dan kita terus menerus membacanya, menafsirkannya, mengaguminya tanpa henti... Bagiku, kaulah puisiku! Yang terindah yang pernah aku tahu! Hei, kenapa aku jadi bisa menulis yang seperti ini? Pasti gara-gara kamu... :-)

Dan dirimu damaikan hatiku
Dan artimu tak akan berakhir....

Semoga kamu belum punya pacar. :-)



Salam,
Reza
11 September, 2012 0 komentar

Seharusnya Tidak Perlu Ada Hari Minggu


Di suatu sore di hari minggu, gue dalam posisi sedikit memprihatinkan di dalam kamar gue. Pagi pagi waktunya bangun tidur, gue dipaksa bangun. Saat pagi pagi waktunya sarapan, gue pun dipaksa harus sarapan. Saat pagi pagi waktunya bermain, gue  malah disuruh belajar sama bokap gue..   

          “ayah, padil main ya..?”
          “main kemana?”
          “seperti biasa lah, kerumah teman sebelah rumah”
          “ngapain?”
          “seperti biasa juga lah, nggak jelas”
          “tapi PR nya udah dikerjain belum?”
          “umm…emm…umm… udah semua kok”
          “yaudah kalo udah selesai semua”
          “asik main ya”


baru tiga langkah gue berjalan dengan wajah penuh harapan seperti akan bertemu bidadari cantik di dunia luar sana, bokap kembali bertanya..
“ohiya dil, semesteran kapan?”

Mendengar kembali bokap bertanya dengan pertanyaan seperti itu, gue bingung dan gue sontak berfikir bahwa rencana bermain gue pagi itu akan gagal mengingat pada waktu itu gue masih duduk di kelas 5 SD dan seminggu lagi akan ada ulangan semester pertama. Dan jika gue menjawab “seminggu lagi semesterannya” mungkin bokap gue akan membatalkan niat gue untuk bermain dan lebih menyuruh gue belajar saja di rumah. Gue juga gak mau bohong, daripada gue jawab “nggak tau yah guru nya belum ngasih tau” atau “lupa nih” Maka gue pun menjawab…

“masih lama kooooooook” yak.  Sama saja bohong ini berarti.

Dan bokap gue pun menjawab..

“masih lama? Kata adek minggu depan udah ulangan? Kan sekolahnya sama?”
“umm…umm..umm.. ohiyaya sama deng ya, minggu depan deng ya hehe”
“yaudah belajar aja gih”

Gue hanya menghela nafas dan spontan mengubah ekspresi wajah lalu kembali ke kamar. Saat itu yang ada di pikiran gue adalah “belajar ya? belajar? Belajar gak ya? Duh” Kemudian gue membuka lemari dan apa yang gue lihat? Bukan doraemon atau semacamnya. Tentu saja tumpukan buku cetak dan lembar-lemar soal yang diberikan guru. Semakin dilihat isi lemari semakin berasa bahwa tumpukan soal-soal itu lagi pada ngetawain gue. “hahaha kasian gak boleh main yaaa”. Terlintas pemikiran “mengapa hari minggu ini tidak di-skip saja? Doraemon kamu dimanaaa?”

Karena setelah ditunggu tunggu doraemon tidak datang - datang juga, gue pun memutuskan untuk skip hari ini dengan cara gue sendiri yaitu... Mencoba tidur. Bermacam cara gue gunakan supaya gue tidur. Mulai dari mencoba tidur dengan menghitung domba yang lompat pagar sampai gajah melompat pagar pun coba gue hitung demi tertidur. Tapi apa daya, INI MASIH PAGIIII !!! bagi gue tidur pagi pagi itu sulit. Ngantuknya aja sulit gimana mau tidur. Kan pagi pagi biasanya masih segar. Baiklah, gue mencoba cara lain waktu itu dengan cara bernyanyi “nina bobo ooo.. nina bobo.. kalau tidak bobo digigit nyamuk” tapi kemudian gue bertanya dalam hati..
         
“ibu sering nyanyi kayak gini sebelum gue tidur. tapi Nina itu siapa ya? Kok ibu gak pernah bilang? Ibu mau nyanyi buat Nina apa buat Padil sih waktu itu? Kenapa waktu ibu nyuruh si Nina tidur malah gue ikut tidur?”

Karena gue bingung dengan pertanyaan gue sendiri, yang sampe sekarang belum terjawabkan, gue pun mencari cara lain yaitu… mencari Nina. Ya bukanlah, gue main sebuah video game perang perangan di komputer dengan berharap gue bosan lalu mengantuk dan gue bisa tertidur. Dan gue pun memainkannya.

Gue main, kalah, main lagi, kalah lagi, main lagi, kalah lagi. Dan gue bukannya ngantuk dan bosan, mata gue malah semakin melek. Semakin diikuti game itu semakin seru dan menarik, gue juga merasa akan memenangkan pertarungan dalam game itu. Tapi, keadaan berkata lain, listrik seketika mati saat pertarungan sedang seru-serunya. Dan gue ingat, game itu juga belum gue save pada waktu itu. Memilukan.  Anak kecil seperti gue sudah harus belajar kesesakan hidup lewat sebuah video game.
Kembali, gue diam dan berfikir “apakah gue harus belajar? baiklah” gue buka lemari buku, gue ambil soal - soal bahasa Indonesia pada waktu itu, karena gue pikir soal bahasa Indonesia adalah pelajaran yang paling sederhana. Menurut gue.

Baru saja gue mau baca soal, bokap gue membuka pintu kamar gue dan berkata..

“dil beresin buku bukunya, makan dulu, udah siang”

Ada aja halangan, pada saat itu memang sudah jam makan siang yang menandakan berlalulah minggu pagi gue yang seharusnya gue lalui dengan bermain bersama teman - teman, tapi ini hanya dilalui di dalam kamar. Membosankan.

Tapi tidak apa - apa, waktu gue untuk belajar pun berlalu, gue berharap setelah makan siang gue bisa bermain bersama teman gue.

Saat makan siang pikiran gue jauh mengembara keluar jendela “semoga abis ini boleh main, amin amin amin.” Makan gue sudah habis, dan gue bertanya kepada bokap..

“apakah sekarang sudah boleh main?” mata berbinar binar penuh harapan.

Dan bokap gue menjawab..

“yaudah boleh tapi jangan lama - lama dan jangan jauh - jauh.” Udah kayak orang pacaran aja ya.

Senangnya saat itu tak bisa diperkirakan lagi. Gue berlari ke rumah teman gue yang jaraknya cukup jauh, sekitar…  tak ada jarak, hanya tetangga sebelah. Namanya Yudis. Saat di depan pagar gue memanggil teman gue itu..

“yudisss maaen yoooook ihihiihihihihihihihi ihihihihihihihi ihihihihi” tak ada jawaban.
 
“yudisss maen gak nihhhh? DIIIIIIISSSS?” Gue memanggil kembali.

Yang kali ini ada jawaban dari dalam rumah teman gue itu, dengan suara keras dan menyayat..

“YUDISNYA GAK ADA DIRUMAH, DIA BARU AJA PERGI DIIIL” yak. Ternyata  yang menjawab adalah kakaknya.

Dengan nada lemas gue hanya menjawab pelan sepelan pelannya “ooo yaauudaaah deeeeeh”.  Teman gue yang rumahnya dekat dan tidak jauh ya hanya si Yudis itu. Di samping rumah. Karena gue termasuk anak yang tidak suka main jauh - jauh gue memilih untuk pulang kerumah. Menundukan kepala dengan posisi ngesot ngesot seperti ulat. Srrrt. Srrrrt. Srrrrrt.

Sesampainya di rumah, bokap gue bertanya..

“waaah udah selesai mainnya? Cepet amaat? ehehehe”

“yudisnya baru aja pergi kata kakaknya” jawab gue dengan sedikit menunduk.

“ahahaha yaudah tidur aja sana, gak usah main”

Gue tidak menjawab, gue langsung masuk ke kamar gue dan terlihat ada teman gue yang sangat setia sedang tersenyum “untung masih ada kamu, guling.”

Karena sudah siang dan gue juga capek berpikir gimana caranya biar hari minggu gue gak sia sia, gue akhirnya memilih tidur siang, dan gue pun tertidur.

Sorenya gue bangun tidur gue langsung bertanya dalam hati “sudahkan berganti hari?” tapi gue lihat jam masih menunjukan pukul  04.00 yang berarti masih sore. Dan baru aja gue bangun yudis manggil manggil gue dari luar..

“fadil fadil main yooook”

Mendengar teman gue itu memanggil gue langsung keluar dan berkata..

“baiklah, tunggu ya gue mandi dulu”. Gue merasa inilah kesempatan terakhir gue buat main di hari minggu. Lalu gue bergegas mandi. Setelah mandi gue kembali menemui yudis di rumahnya.

“jadi kita main apa nih?”
          

“main layang-layang aja yuk”

Setelah itu gue dan yudis langsung pergi ke toko depan gang rumah untuk beli layang - layang dan benang layang - layang.

Sore itu angin cukup kencang untuk membuat layang - layang terbang. Dan tentu saja layang - layang gue dan yudis pun berhasil terbang. Tapi layang - layang gue cukup rewel waktu itu. Lumayan iri gue melihat layang - layang yudis yang terbangnya tenang kayak tidak punya dosa. Belum berapa lama terbang, layang - layang gue sudah tersangkut di pohon kelapa di dekat rumah gue. Sesak.

Gue bertanya dalam hati “mengapa ini harus terjadi?”. Lalu yudis berbicara dengan gue “beli lagi aja dil, kita main lagi, ini kan hari minggu, kapan lagi main ehehe”

lalu gue menjawab.. “malah seharusnya tidak perlu ada hari minggu.”
14 Agustus, 2012 0 komentar

Gara gara Game Online

DULU pas gue baru-baru masuk kelas 8 C di SMP 22 bandar lampung gue terlihat cupu, pendiem, masih malu-malu. Masuk kelas 8C gue sekelas lagi dengan temen gue di kelas 7 dulu, Ricky Aziz, Bintang Bimantara. Aziz dengan bintang ini termasuk anak yang doyan banget online, nge-game, sedangkan gue sendiri masih belum begitu paham dengan dunia online dan nge-game. yang gue tau entang online paling cuman facebook.

Dulu gue sering diajak aziz maen ke warnet buat maen. Tapi tiap kali diajak gue selalu nolak. Begitu pula Bintang, sering ngajak maen tapi gue tolak, berkali kali diajak gue pasti nolak. Gue selalu berfikir "ngapain coba". Pada akhirnya setiap mereka berdua main gak pernah ngajak gue lagi karena mereka tau gue pasti nolak.

Saat itu gue lagi rajin rajinnya belajar. Kelas 7 gue dapet ranking 10 besar, lumayan sih... paling nggak nama gue sempet terpampang di papan tulis saat pembagian raport. ehehe Kebetulan saat gue masuk kelas 8 C saat itu, gue sekelas dengan temen dekat gue Arfian Rizky dan Arimula, mereka berdua ini gue kenal saat gue ikut ekskul pramuka sewaktu masih di kelas 7. Teman dekat gue sewaktu  mengikuti ekskul pramuka selain mereka berdua ada juga Nofrian Fungki, Ravidi. Mereka berempat ini hobinya sama dengan Aziz dan Bintang, yaitu nge-game online. Tetapi hanya bedanya mereka berempat ini lebih rajin, rajin kewarnet. Sial, kenapa waktu itu gue dikelilingi anak-anak doyan game.

Suatu kali gue diajak main kewarnet bermain game Arfian, fungki, arimula dan ravidi yang namanya "Point Blank" sebuah game perang online yang terbesar di asia. Namun lagi lagi gue menolak ajakan tersebut.

Pada suatu siang saat kami pulang sekolah, tidak ada jam bimbel pada waktu itu jadi kami pulang cepat. Gue bertemu dengan Arfian, fungki, arimula dan ravidi di depan gerbang, mereka bilang mereka mau main di warnet dekat sekolah, kebetulan juga saat itu yang gue tau di rumah gue lagi gak ada orang, gue juga gak bawa kunci rumah. Jadi daripada gue pulang terus gue duduk depan pager disangka gelandangan, gue memutuskan untuk ikut dengan mereka kewarnet. Niat gue ikut bukan untuk main, gue hanya menonton saja.

Sampainya disana saat mereka ingin main game "Point Blank" mereka bilang mereka kekurangan 1 anggota buat War. Mereka memohon gue untuk ikut main. Gue gak mau tapi mereka tetap memohon... karena ada perasaan gak enak hati dengan mereka, gue ikut maen deh. Ini pertama kalinya gue maen yang namanya game online. Dan ternyata seru juga lho. wah disini nih gue mulai ketagihan.


Ilustrasi foto

Besok harinya sepulang sekolah mereka mengajak gue main lagi, dan pada saat itu gue tanpa ragu ragu langsung mengiyakan ajakan mereka. Kami main main main mainnnn terus sampai jadi malas belajar. Gue ketagihan, sampai-sampai pada saat mereka lagi malas bermain malah jadi gue yang mati-matian mengajak mereka main. Gue juga malah lebih jago dari mereka, grade gue jauh diatas mereka. Gue juga lebih rajin main daripada mereka. Sampai-sampai gue menginstal game online point blank tersebut di komputer gue dirumah. Waktu demi waktu kami habiskan untuk bermain game online.

Pada suatu hari, waktu itu hari jumat sekolah kami biasanya mengadakan senam pagi, setelah senam pagi biasanya siswa mengikuti ekskul yang di ikuti. Gue, Arfian, Ravidi, Fungki dan Arimula ini ada pada dalam satu eksul. yaitu Pramuka. Dan kebetulan pada saat itu gue lah ketua pramuka nya. Dan pada waktu itu setelah melakukan senam kami merencanakan untuk tidak ikut eksul melainkan nge-game online saja. Ketua nya aja kabur ekskul gimana anggotanya. parah memang. Dan kami keluar lewat pagar depan, dan ternyata......... kami ketahuan oleh walikelas kami. Sial memang. Tapi kami nggak balik lagi melainkan melanjutkan lari kami.

Besoknya kami ditanya oleh walikelas kami itu, soal keberangkatan kami kemarin. Dan mulai dari situ gue mengurangi jam main gue di warnet, dan gue gak melakukannya lagi sampai sekarang.

Lalu saat kenaikan kelas gue gak dapet rangking 10 besar. ya iyalah. Gue juga masuk kelas 9F, Kelas terakhir yang kata orang kelas nakal, dan yang lebih mengejutkan lagi, gue sekelas dengan Arfian, Nofrian Fungki dan Arimula. Kami sebenarnya masih main point blank pada saat itu, tapi tidak merajalela seperti saat kelas 8.

Sekarang gue udah kelas 2 SMA, dan gue udah gak main main lagi yang namanya Game online, gue udah merasa bosen juga. Temen temen gue yang lain juga mungkin sama dengan gue, bosen. Tapi, beberapa waktu lalu gue iseng mau main lagi, pas gue mau buka ID Point Blank gue, ternyata ID gue udah di Banned sama Game Master nya. ahaha

Namun, gak ada rasa penyesalan dari gue udah main Game itu sejak dulu, karena gue udah lupa sama game itu. Bukan lupa sih, hanya berhenti mengingat-ingat, kata-kata "lupa" buat gue terlalu keras. Lebih tepatnya udah lepas dari kecanduan game tersebut. Kalo orang orang yang udah gila game pasti bakal galau berminggu-minggu kalo ID nya di Banned.

Sekian. 
10 Agustus, 2012 11 komentar

Cerita Tentang Saya



 
;