Tampilkan postingan dengan label Iseng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Iseng. Tampilkan semua postingan
02 April, 2013 0 komentar

Kancil dan Buaya

Pada suatu siang yang begitu terik panasnya, kancil sedang berjalan-jalan keliling hutan. Cukup lama ia berjalan ia mulai merasa kehausan. “Buh, panas banget ya, jadi haus gini. Dimana disini ada jual minuman?” kata si kancil sambil memegang tenggorokannya.

Kancil pun berniat mencari sungai terdekat di hutan itu. Tidak berapa lama ia mencari sungai, kancil pun melihat sungai yang airnya jernih, dan cukup deras “Nah! Ininih! Sungai! Segerrr”

Tanpa pikir panjang kancil bergegas mendekati aliran sungai tersebut dan ia meminum airnya.
“Buh.. seger”

Sedang asik asik meminum air sungai, tiba-tiba kaki kancil digigit oleh seekor buaya

“Eh kenapa ini kakiku?” tanyanya bingung “Eh buaya, apa kabar kawan?” kata Si kancil.

Buaya yang menggigit kaki kancil pun heran “hah? Sok kenal sih” kata buaya tersebut.

 “Kebetulan kita bertemu di sini, jadi aku tidak perlu mencari kalian lagi.” kata kancil sambil menyembunyikan suaranya yang  gemetar.

Para buaya bingung, mengapa kancil ingin bertemu dengan mereka? Buaya yang menggigit kaki kancil bahkan sudah melepaskan gigitannya. Kancil bisa saja melarikan diri, namun ia tahu buaya dapat bergerak dengan sangat cepat. Ia pasti tertangkap lagi.

“Jadi begini, aku diperintah oleh Raja untuk menghitung jumlah buaya yang ada disini” lanjut si kancil.

“Untuk apa raja menyuruhmu menghitung buaya yang ada disini?” Tanya salah satu buaya heran.

“untuk.. emm.. katanya baginda raja ingin memberikan hadiah bagi kalian semua yang ada disini

“Serius?” kata buaya.

“iyalah serius. Jadi berapa jumlah kalian?”

Para buaya saling berpandang-pandangan. Mereka tidak tahu berapa jumlah buaya yang ada di sana.

Kancil menunggu sejenak.

“emm.. Kalian tidak tahu?”

Para buaya menggeleng.

“Kalo gitu.. baiklah. Panggil semua buaya kemari” perintah si kancil.

“Sekarang?”

“yaiyalah sekarang! Buruan jangan lama!” kata kancil dengan tegas.

Semua buaya dipanggil. Kancil pun mulai menghitung buaya sambil menunjuk-nunjuk. Ia tampak kesulitan menghitung.

“begini saja, Lebih baik kalian berjajar dari sini ke seberang sana. Aku akan lebih mudah menghitung kalian.”

Para buaya sibuk berjajar. Kancil kemudian menghitung mereka dengan melompat-lompat dari punggung buaya yang satu ke punggung buaya yang lain.

“Satu... dua... tiga... sembilan belas... tiga puluh satu... enam puluh... enam puluh satu, dan terakhir, enam puluh dua!” kata kancil sambil melompat ke tepi
sungai di seberang.

Namun kancil kelihatan bingung. Ia bergumam keras-keras, “Berapa ya tadi? Enam puluh dua atau enam puluh tiga?”

Para buaya mulai beranjak dari barisannya.

“Eh,” kata kancil. “Jangan bubar dulu. Lebih baik kuhitung sekali lagi biar lebih pasti, sepertinya aku lupa”

Kancil pun kembali melompat-lompat menghitung buaya kembali ke tepi sungai tempat tadi ia minum.

“Enam puluh... enam puluh satu... enam puluh dua!”

“Ternyata benar jumlahnya enam puluh dua. Sekarang aku harus melapor kepada Baginda. Terima kasih ya!”

Ia pun lari ke dalam hutan. Karena akalnya yang cerdik, kancil sekali lagi lolos dari bahaya.
29 Januari, 2013 0 komentar

Dialah Noy

Di suatu sore yang mendung, sepulang gue dari sekolah gue pulang kerumah dengan keadaan terburu buru karena langit sudah terlihat mendung. Saat gue sedang berlari di dekat sebuah pohon, tanpa sengaja gue melihat sebuah kotak kardus di dekat pohon tersebut. Awalnya gue curiga dengan isi kardus tersebut dan ingin melihatnya, tetapi karena langit semakin terlihat mendung, dan rumah gue masih jauh gue pun bergegas kembali berlari lebih kencang menuju kerumah.
Sesampainya gue di depan pagar rumah, gue semakin penasaran dengan isi kardus tersebut. Gue pun putar haluan dan kembali mendatangi kardus misterius tersebut.

Ketika gue sudah sampai di hadapan kardus itu, hujan pun datang ramai-ramai dan semakin mem-bully. Jadilah gue berteduh di bawah pohon yang tidak seberapa besar. Pohon singkong. Alhasil, baru 5 menit hujan gue bukannya aman malah basah kuyup “Bagus, gue nggak perlu mandi” pikir gue.

Dan gue tidak lupa untuk membuka kardus misterius yang mebuat gue putar haluan dari rumah menuju kembali ke tempat itu. Perlahan gue buka, gue menduga duga bahwa ini adalah Bom perang dunia pertama yang belum sempat meledak beberapa puluh tahun lalu. Saat gue buka, gue lihat tumpukan kain menutupi sebuah benda, dan gue juga melihat ada beberapa botol susu mainan-mainan kecil. Dari situ gue berfikir “betapa beruntungnya gue nemu mainan-mainan ini, ini bisa gue bawa pulang untuk main dirumah”. 

Lalu gue buka tumpukan kain yang menutupi sebuah benda itu. Ter.. nya.. ta.. ada seekor bayi. Bayi Lumba-lumba. Sebenarnya dia tidak layak disebut sebagai bayi, dia sudah terlihat cukup besar sebesar ikan buntal yang makan rending lebaran. Lagipula kardus yang membungkusnya bukanlah seperti kardus kardus kecil mie instan melainkan kardus lemari es.

Dengan unyunya lumba-lumba itu menangis. Gue bingung mengapa dia menangis terus menerus setelah melihat gue. Padahal gue tidak se-menyeramkan kelihatannya. Hingga pada saat hujan reda lumba-lumba itu berhenti menangis. “HAH?! KENAPA?! DIA PAWANG HUJAN!!!” pikir gue.
Gue sempat kaget, namun karena lumba-lumba itu terlihat menggemaskan gue membawanya pulang. Gue memasukan lumba-lumba itu ke dalam tas ransel gue.

Sesampainya di rumah, gue langsung menaruh tas di kamar dan gue langsung mandi. Ketika gue sedang mandi, adik perempuan gue yang paling bungsu *adik gue cuman satu* berteriak dari kamar gue, dia bilang “kaaak makasihhh yaaa bonekaaanyaaa, kakak baik deeeh”
“hah? Boneka apaaa? Kakak nggak punya boneka” gue bingung setengah heran.
“ini lhoo boneka lumba-lumbanya lucu. Makasih yaaa”

Gubrak. Gue pun terpeleset kaget dan menggelincir di kamar mandi.

Ketika gue keluar, melihat adik gue sedang main dengan lumba-lumba itu dan dia bilang “kak bonekanya bisa ngomong, pasti mahal belinya?
“Yaudah sini kembaliin bonekanya, kalo mau beli sendiri.”  Gue pun merebutnya dengan paksa dari adik gue. Namun adik gue tidak mau kalah dan menarik lumba-lumba itu. Tiba-tiba terdengar kata-kata “OOOOY SAKIIIIT”  hebat.  Ternyata lumba-lumba ini benar-benar bisa ngomong.
Gue pun mendapat teman bermain baru di rumah, seekor lumba-lumba yang unik. Gue menamai lumba-lumba itu dengan nama Noy. Seiring berjalannya waktu kami sering menghabiskan waktu bersama, termasuk saling bercerita.

Kami saling bercerita prihal masalah-masalah pribadi atau yang lainnya, gue juga menanyakan masalah terkait mengapa dia bisa berada di dalam sebuah kardus lemari es. Dan Noy bercerita bahwa waktu itu ketika dia sedang asik bermain petak umpet bersama teman-temannya, dia mendapat kesempatan bersembunyi, lalu dia mencari tempat paling aman agar tidak diketahui temannya. Dia menemukan sebuah kardus besar, dia pikir dia tak akan pernah ditemukan oleh teman-temannya jika dia bersembunyi di dalam situ. Bersembunyilah Noy di dalam kardus itu, dan Noy pun ketiduran. Dan benarlah apa yang dia pikirkan bahwa dia tak pernah ditemukan oleh teman-temannya sampai sekarang dan Noy pun juga tak tau arah jalan pulang dan tentunya tidak kelilipan butiran debu. Dia lupa. Sedih. Dan terkait dengan kain-kain, botol susu dan mainan-mainan itu, Noy bilang dia memang sengaja membawanya setiap kali bermain petak umpet agar dia bisa tiduran santai, nggak kehausan dan nggak bosan ketika sedang bersembunyi. Parah. Niat.

Semakin dekatnya pertemanan kami berdua, gue menemukan terdapat kejanggalan pada diri seekor Noy ini.. Dia tak pernah mandi. Dia bau, lebih bau daripada ruangan tertutup ber-AC  yang penuh dengan kaos kaki anak sekolah. 

Gue bertanya kepada Noy “Noy lo sebagai lumba-lumba kok gue nggak penah liat lo mandi?!” dengan sedikit mengernyitkan dahi.
“gue…  gue.. umm.. gue alergi air” jawab Noy dengan malu-malu kucing.. eh, malu-malu lumba-lumba.
“APAAA?! A-LER-GI-A-IR?! Mau dikemanain harga diri lo sebagai lumba-lumba kalo alergi sama air?! Hah?!” Tanya gue begitu terkejutnya. Noy hanya diam menundukan siripnya. “emangnya kenapa lo alergi sama air? Nggak suka air asin?” lanjut gue bertanya.
“bukan dhil, ceritanya begini…
Ketika matahari sudah menampakan diri dan jarum jam menunjukan pukul setengah sebelas pagi, *pagi apa siang itu?* ayah gue menemukan gue yang masih tergeletak tak berdosa di kandang, dan tentu saja gue belum mandi. Ayah gue berteriak “Noy buruaaan mandi udah siang gini, cepetan nyebur ke kolaaam”

“iya paaa nanti yaaa” sahut gue dengan mata masih sedikit terpejam. Namun tak berapa lama setelah sahut gue tersebut gue disiram dinginnya air kolam saat gue nyaris kembali terlelap. Nah karena gue kaget gue pun terjatuh dari kasur dan badan gue lecet-lecet. Ketika itu gue masih kecil.” Penjelasan Noy.

Dari situ gue bisa paham, bahwa Noy alergi air bukan karena dia takut sama air melainkan karena dia trauma jika terkena air, dia akan terjatuh dan badannya lecet-lecet. Ketika itu dia masih kecil sehingga kejadian itu membekas hingga dia dewasa dan dalam setiap kali dia merasakan air iya akan terjatuh dan tak bisa bangkit lagi, bukan butiran debu. Mengenaskan. Sadis.

Pernah pada suatu hari ketika Noy pulang main futsal, dia kebingungan mau pulang karena terjebak hujan. Dia beteduh di sebuah toko. Dan ini fotonya..

Mengenaskan. Andai saja ada dokter hewan yang bersedia menyembuhkan penyakit Noy.
07 Desember, 2012 0 komentar

Dilema Ujian Bahasa Indonesia

Kamis pagi, 6 desember 2012, ujian semester mata pelajaran bahasa Indonesia berlangsung. Soalnya mudah.. kalo cuman disuruh baca. Ngisi jawabannya juga gampang kalo ngasal. Soal bahasa indonesia kali itu lebih mirip koran pagi yang sering dibaca bapak bapak tiap pagi di beranda rumah dan mirip juga dengan majalah anak anak tanpa gambar. Tebal. Membosankan. Nggak! Ini nggak sekedar membosankan, ini lebih membosankan daripada nungguin pacar yang lagi di salon. Kalo soalnya ada gambar gambar kartunnya sih mungkin nggak jadi ngebosenin, semacam gambar Spongebob atau gambar Jimmy Neutron gitu, kan keren. Tapi, karena tuntutan nilai di raport, jadi gue berusaha keras untuk konsentrasi mikir. Nggak! Waktu itu gue bukan lagi mikirin mba mba kasir sebuah minimarket kok.
Sepuluh menit pertama membaca soal gue berhasil konsentrasi baca soal tanpa hambatan, gue berhasil mengerjakan lima soal. Sepuluh menit berikutnya tambah jadi sepuluh soal. Dan pada menit menit selanjutnya dan soal yang kesebelas gue mulai kehilangan konentrasi. Iya, gue emang tipe orang yang nggak bisa berlama lama konsentrasi. Bukan, gue kehilangan konsentrasi bukan karena mba mba kasir sebuah minimarket yang selalu senyum tiap kali gue cuekin.


Pada soal kesebelas gue mulai main mainin pensil. Gue melakukan ritual ritual kecil dengan pensil yang gue pakai untuk ujian, gue juga main mobil mobilan dengan pensil gue. Dan karena gue suka balap, gue coba buat lintasan mini di atas meja terus gue mainin pensil, penghapus dan peruncing seolah olah itu mobil balap. Beneran. Ini serius. Gue emang begini, nggak tau kenapa, mungkin hukum alam.

Gue lihat jam dinding, dan nggak kerasa 30 menit berlalu karena mainan mainan dadakan gue itu. Gue baru ngerjain sepuluh soal, itu juga belum tentu bener.

Lanjut gue ngerjain soal. Gue kerjain dengan seksama. Satu.. dua.. tiga soal gue baca dan berhasil gue lewati, gue lewati karena memang gue nggak tau jawabannya. Yah. Soal keempat mulai lagi, gue mulai pusing. Gue mencoba bereksperimen dengan permainan permainan lain yang lebih mengasyikan dari sekedar mobil balap. Tiba tiba dalam keheningan otak gue, terdengar suara helikopter lewat di atas sekolah. Bukan, gue bukan mau lari keluar kelas terus melambai lambaikan tangan minta tolong lalu teriak “Tolooooong paaaaaak saya nggak kuaaat! BANTUAAAAAN! BANTUAAAAAAAAN!” bukan. Gue jadi keinget masa kecil gue ketika gue masih senang main pesawat pesawatan lipat kertas. Gue lirik soal ujian. Tadinya soal ujian mau gue korbanin lipat lipat buat main pesawat pesawatan. Tapi untung gue sadar, soal ujian itu masih bisa digunakan untuk buat mainan mainan lain nantinya, seperti.. buat layang - layang.

Dan gue menemukan kertas bekas coret - coretan menghitung pada pelajaran Matematika beberapa hari yang lalu di dalam laci. Beruntunglah gue, kalo nggak mungkin soal ujian benar benar jadi kobannya.

Sukses buat pesawat pesawatan, gue merasa seperti kembali berjiwa bocah. Tapi nggak apa apa, keren.

Kembali gue lihat jam, kali ini waktu bermain gue agak lebih cepat, 15 menitan. Jadi sekitar 45 menit berlalu dengan serunya. Peserta ujian lain dengan tenang dan waspada takut ketahuan mencontek pekerjaan teman lainnya, gue malah asik bermain dengan dunia gue. Keren.

Dari 50 soal yang di ujikan, gue baru mengisi 10 soal dalam waktu kurang lebih 50 menit. Gue lihat pekerjaan teman gue yang duduk di belakang. Buuuh dia sudah ngerjain banyak, sekitar 40 soal. Hampir penuh. Gue heran, dari soal bahasa Indonesia yang mirip koran gitu dia bisa ngerjain secepat itu? Ntahlah, mungkin dia alien dari planet yang banyak penduduk indonesianya.

Jadi, gue berusaha konsetrasi kembali, gue kembali memusatkan pikiran gue. Gue bukan memusatkan kepada mba mba kasir, tapi gue memusatkan pikiran gue kepada angsa tetangga yang tadi pagi ngikutin gue berjalan sewaktu gue berangkat ke sekolah. Nggak tau kenapa, mungkin angsa - angsa itu mengira gue induk mereka karena leher kami sama panjang. Iya, gue sering di ikutin sama angsa angsa tetangga gue, ada sekitar 6 ekor. Gue sering betemu mereka (baca: angsa) patroli depan rumah gue. Muter muter keliling ke rumah gue, jalan lagi ke rumah tetangga lain. Ya, berkat patroli mereka kawasan rumah gue aman dari ancaman pencuri. Sebab, mereka akan menggonggong dan kadang mengaum di malam hari setiap kali melihat orang asing. *bohong*

Oh iya, ini kenapa jadi bahas angsa yang menggonggong? Oke. Maafin gue. Sampe mana tadi..

Karena merasa tertinggal jauh mengerjakan soal, gue naik motor. Nggak nggak, gue kembali membaca soal. Gue pahami soal demi soal, gue jawab soal demi soal dan salah satu peserta ujian di kelas gue ada yang beranjak dari tempat duduknya. Dia sudah selesai, teman teman gue yang lain juga ikut ikutan ngumpul dan satu persatu kelar dari kelas. Sedangkan gue.. bergelut dengan angsa tetangga.

Satu persatu peserta ujian mulai keluar dari ruangan, hingga tampak sepi. Pak Samroni yang saat itu memakai peci putih yang sedang mengawas ruang kelas gue pun bilang “waktu tinggal sepuluh menit lagi”. Sip. Gue berusaha tidak panik, sampai akhirnya peserta ujian yang tersisa hanya tinggal gue seorang.Pak Samroni bertanya kepada gue

“diiiil udah selesai beloooom?”
 
“bentar lagi pak duaaa lagiiii” jawab gue panjang.

“dua apa?” Pak Samroni kembali bertanya.

“dua halamaaaan.”

Kemudian gue menyesal, kalo tau begini kenapa gue nggak bawa blender ke sekolah, jadi kan lembar soalnya bias gue juice.

*teeeeeeeeeeet* terdengar bunyi bel yang menandakan masa berlaku status gue habis. *bohong lagi* Untung segera bunyi bel, kalo nggak mungkin gue sudah berubah buas terus gigit gigitin lembar soal.

Soal gue kumpul. Gue keluar kelas dengan tampang biasa aja. Seperti pasangan LDR yang gengsi, sebenernya kangen tapi sama sama bilang “biasa aja kok”.

~

Sepulangnya gue dirumah, siang, panas, gue buka buka twitter gue. Gue lihat sejauh timeline memandang pada ngegalauin nilai yang keluar. Macem macem yang gue lihat, seperti..

“duh nilainya yaa mengecewakan sekali”

“aaah nilainya bikin galau”

“nggak tega ngeliat nilai”

Ada juga.. “BAKAAAAAR PENGAWASNYAAAAA”

Bahkan.. “aku galau ngeliat nilai kecil tapi nggak lebih galau kalo ngeliat kamu deket deket dengan yang lain." sempet.

Gue juga pengin lihat nilai gue, jadi gue iseng iseng lihat di web site sekolah gue. Gue buka. Mata pelajaran pertama yang gue lihat, Bahasa Indonesia. Ternyata sudah keluar. Gue lihat nilai gue ternyata besar.. 56. Iya, Lima Puluh Enam. Keren.

Gue terdiam. Memang malam sebelum nya gue nggak belajar, gue berfikir  ‘halah pelajaran Bahasa Indonesia mudah kok, paling paling yang ditanya “ide pokok paragraf diatas adalah..” atau “gagasan utama dalam wacana diatas adalah..” hah mudah kok, nggak usah belajar deh malem ini.’ Dan ternyata soalnya nggak semudah yang gue pikirkan. Terus sudah tau semalamnya gue nggak belajar, di sekolah gue main main juga saat ujian.

Jadi, seperti yang dibilang teman gue, Primavera.. peliharalah angsa menggonggong yang banyak di rumah anda maka rumah anda akan aman dari pencuri Segala sesuatu yang gak disertai usaha yang maksimal emang gak pernah berhasil.” 

Yak, jadi sesuai dengan apa yang gue kerjakan, gue mengerjakan soal nggak serius, gue nggak belajar dan ya nilai yang gue dapat seadanya. Sesuai dengan apa gue kerjakan.

Dan.. Jangan meremehkan segala sesuatu yang menurut kita mudah, karena suatu saat hal yang mudah itu bisa menjadi begitu sulit.
 
;